Ketika nabi muhammad waffat
TERHUBUNG TAK BERUJUNG
Ketika para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.
“Wahai Nabi Allah….! Wahai Rasulullah…! Wahai kekasih Allah….!”
Saat kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru menyemburat di wajah para sahabat yang ada di dalam masjid.
Tak lama kemudian, berita wafatnya Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.
Musibah Terberat
Kembali lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh mulia Rasulullah SAW.
Ketika ia melihat guncangan ruh beliau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA menangis. Maka kemudian ia mengangkat tubuh Rasulullah SAW dan meletakkannya di kamar beliau.
Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW hampir terlepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak kuasa untuk berdiri.
Maka kemudian, tatkala suara tangisan memenuhi ruangan rumah itu, terdengarlah suara yang tidak terlihat siapa yang mengatakannya. Mereka mendengar suara yang mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum. Ishbiru wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah farathukum fil jannah.” – Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Wahai penghuni rumah, semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan bermuhasabahlah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya Rasulullah mendahuluimu sekalian di surga.”
Ketika suara itu terdengar, mereka pun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu berhenti, mereka pun menangis lagi.
Demi Allah, Dzat Yang Disembah, kalian tidak pernah diberi musibah seperti musibah yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang pernah merasakan kehilangan seperti yang mereka rasakan.
Kabar itu tersiar cepat di kota Madinah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika dikatakan kepada mereka “Wahai para sahabat, tidakkah kalian tahu, Rasulullah SAW adalah manusia, dan sebagai manusia beliau pun pasti mengalami kematian?”, mereka mengatakan, “Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri kami dan telah menjadi cambuk dahsyat pada jiwa kami.”
Hati para sahabat terus bergetar.
Kala itu, Sayyidina Umar bin Khaththab menghunuskan pedangnya sambil mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia berteriak, “Sekelompok dari golongan munafik berkata bahwa Rasulullah telah mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi beliau menjumpai Tuhannya sebagaimana perginya Musa AS. Dan beliau kembali kepada kita. Siapa yang mengatakan Rasulullah telah mati akan kutebas dengan pedangku ini.”
Setelah sampai kabar kepada Abdullah bin Zaid RA, ia menangis, kemudian menengadahkan tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ambillah penglihatanku ini, sehingga aku tak dapat melihat seorang pun lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.”
Maka, ia pun kehilangan penglihatan pada saat itu juga.
Sahabat yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA, berteriak, “Ya Allah, ambillah ruhku, dan tiada lagi kehidupan setelah wafatnya Rasulullah SAW.”
Tiba-tiba ia terjatuh. Allah mengambil nyawanya seketika itu juga.
Sementara itu, Sayyidina Utsman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.
Hidup dan Mati dalam Kebaikan
Ketika pikiran mereka terganggu, mereka kebingungan, maka telah sampai berita kepada Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA, dan ia pun berada dalam keadaan yang menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan memasukinya.
Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah dalam kebingungan.
Kemudian ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari penghuni rumah untuk dapat masuk ke rumah dan ia diizinkan untuk masuk.
Periwayat kisah ini mengatakan, Sayyidina Abubakar RA masuk dalam keadaan dadanya berdebaran dan tampak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun akan dicabut pada saat itu.
Ia menangis. Kemudian terdengar darinya suara bagaikan bergolaknya air yang tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya, sementara air matanya terus bercucuran.
Saat itu, jasad mulia Rasulullah SAW diselimuti kain. Lalu ia membuka kain selimut yang menutupi jasad mulia Rasulullah SAW, demi menatap wajah paling mulia itu.
Ia memandang wajah Rasulullah SAW dan mendekatkan wajahnya. Dikecupnya kening dan pipi Rasulullah SAW. Lalu, sambil menangis ia mengatakan, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan menimpakan dua kali wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu, niscaya kami akan biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat mengadu selain kepada Allah SWT.
Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita akan kembali.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau, ya Muhammad, adalah utusan Allah.
(Aku bersaksi bahwa) engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau meninggalkan kami di atas jalan yang bersih.”
Sayyidina Abubakar tenggelam dalam kesedihan. Napasnya pun tersengal-sengal. Ia pandangi kembali wajah Rasulullah SAW seraya berkata, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
Wahai para sahabat yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW. (Dan untukmu Sayyidina Abubakar) wahai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi, engkau memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru bagi Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
Makna “Siapa Menyembah Muhammad…”
Sayyidina Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya.
Lalu ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW.
Ia pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan mereka.
Pada saat ia menangis dan mengatakan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun menangis.
Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi masjid berada dalam kepiluan.
Kemudian ia menaiki mimbar kekasihnya, tuannya, dan pemimpinnya, Rasulullah SAW. Langkah kakinya telah membawanya ke mimbar itu.
Maka, setelah memuji Allah SWT, bershalawat atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT, “Setiap jiwa akan mendapatkan kematian.” Ia juga membacakan ayat, “Dan tidaklah Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.” Dan ayat, “Sesungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.”
Ia berkata lagi, “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, Allah itu hidup dan tidak mati.”
Kalimat ini mengandung pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat” sebagai putusnya hubungan dengan Nabi SAW.
Demi Allah, Tuhan Yang Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah berakhir. Rasulullah SAW telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya dengan Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Mahahidup dan tidak mati.
Jadi, dengan pengertian bahwa hubungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah berakhir. Karena, hubungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup dan tidak pernah mati.
Kemudian Sayyidina Abubakar berpaling kepada Sayyidina Umar, menghiburnya dari kebimbangan yang ia rasakan.
Aroma Kesturi
Di rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lantaran kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW. Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah dan Fadhl.
Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia Rasulullah SAW dengan pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun.
Sayyidina Ali KW mengatakan, “Kami memandikan beliau dan beliau masih mengenakan pakaiannya.
Saat kami hendak memiringkan beliau ke kanan, beliau menghadap ke kanan dengan sendirinya. Ketika kami hendak memiringkan beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan beliau, kecuali jasad beliau sendiri yang berubah kedudukannya.”
Katanya lagi, “Ketika kami memandikan beliau, angin yang sejuk dan nyaman bertiupan ke arah kami seakan-akan kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW.
Tidaklah ada air yang jatuh dari jasad mulia Baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari aroma kesturi.
Kemudian, kami kafankan jasad beliau.”
Salah Satu Taman Surga
Di tempat lain, para sahabat saling bertanya, “Di manakah akan kita makamkan jasad Rasulullah SAW?”
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya menyatakan, sebagian sahabat mengatakan agar beliau dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di dalam masjidnya, Masjid Nabawi.
Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di suatu masjid yang ada kubur di dalamnya. Sebab, bila cara pandang seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu memahami akan hal tersebut, sebagai buah dari kehidupan mereka bersama Rasulullah SAW.
Sampai kemudian Sayyidina Abubakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.”
Maka digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyemayamkan jasad suci beliau.
Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam lubang kubur Rasulullah SAW, yang, demi Allah, tak lain merupakan salah satu taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pembantu Rasulullah SAW yang bernama Syaqran.
Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas, tempat yang pernah diduduki Rasulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya.
Aku melihat ke atas tempat duduk Rasulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, tiada satu pun yang boleh duduk di atas tempat duduk ini selepasmu, wahai Rasulullah!’.”
Sayyidina Ali pun memakamkan Rasulullah SAW dalam kubur beliau, bersama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu.
Sang Putri Menyusul
Ketika mereka telah bubar usai pemakaman, datanglah Sayyidatina Fathimah Az-Zahra. Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Rasulullah SAW ini.
Dalam keadaan menangis, Sayyidatina Fathimah melihat Anas bin Malik RA, pembantu ayahandanya, yang besar di bawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemudian ia berkata kepada Anas, “Ya Anas, engkau sanggup meletakkan tanah di atas tubuh Rasulullah?”
Anas pun menangis, sambil mengatakan, “Celakalah kami, celakalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah. Sesungguhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah kami telah mendengar terlebih dulu apa yang engkau katakan sekarang ini, niscaya kami tidak akan sanggup mengebumikannya.”
Sayyidatina Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada di situ. Hatinya amat sedih karena musibah yang sedang menimpanya.
Ia kemudian berdiri di sisi kubur ayahandanya dan mengambil segumpal tanah, lalu menciumnya.
Dalam tangisannya, ia berkata,
“Apa yang dapat dirasakan si pencium tanah kubur Nabi Muhammad ini… tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa.
Aku ditimpa musibah dengan musibah yang jika musibah selainnya menimpaku setiap hari pun niscaya tidak mengapa.”
Tidak sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah pun wafat.
Fathimah adalah seorang yang digelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya (Karena sejak meninggalnya Sayyidatina Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah-lah yang banyak mengurus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“Wahai Rasulullah…”
Sekarang, bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, selepas wafatnya Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan Rasulullah SAW?
Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.
Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih, Bilal ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sahabat Nabi, datang berziarah ke makam Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik tengah melanda, yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun berdiri di sisi makam mulia Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”
Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi ini mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara langsung, atau sebagai orang kedua).
“Ya Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena mereka memahami bahwa Rasulullah SAW hidup di dalam kuburnya. Beliau mendengar shalawat yang diucapkan atas beliau, dan beliau menjawab salam yang diucapkan kepada beliau. Beliaulah yang telah bersabda, “Sesungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur mereka.”
Post a Comment for "Ketika nabi muhammad waffat"