Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGERTIAN IKTIKAF DI MASJID


 ♡RINGKASAN FIKIH I'TIKAF


Berikut ini kami ringkaskan beberapa bahasan mengenai i’tikaf yang diambil dari kitab Fiqhul I’tikaf karya Syaikh Dr. Khalid Ali Al Musyaiqih –hafizhahullah– . Semua referensi dan tarjih (pemilihan pendapat yang terkuat) dari masalah khilafiyyah adalah dari beliau, Syaikh Dr. Khalid Ali Al Musyaiqih.

Apa hukum i’tikaf?

I’tikaf hukumnya sunnah (dianjurkan). Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud” (QS. Al Baqarah: 125)

Dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله ، ثم اعتكف أزواجه من بعده

“Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau pun beri’tikaf” (HR. Bukhari no.2026, Muslim no.1172)

Dalil dari ijma’ para ulama. Ibnul Mundzir dalam Al Ijma’ mengatakan:

وأجمعوا على أن الاعتكاف سنة لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu hukumnya sunnah, tidak diwajibkan bagi manusia. Kecuali bagi orang yang mewajibkan bagi dirinya sendiri, maka wajib”

Ijma’ ulama bahwa i’tikaf hukumnya sunnah juga dinukil oleh Syaikhul Islam dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh (2/711), Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ (41), An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/407), dan beberapa ulama lain.

Bolehkah wanita beri’tikaf?

Ada dua pendapat diantara ulama mengenai hal ini:

Hukumya sunnah. Ini merupakan pendapat jumhur.
Hukumnya makruh bagi wanita muda. Ini merupakan pendapat sebagian Hanabilah semisal Al Qadhi ‘Iyadh.
Yang rajih, hukumnya sunnah berdasarkan keumuman dalil tentang keutamaan i’tikaf dan banyaknya dalil yang menyatakan para shahabiyyah beri’tikaf, diantaranya hadits:

عنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ذَكَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ لَهَا

“Dari Aisyah Radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Lalu Aisyah meminta izin untuk ikut beri’tikaf lalu Nabi mengizinkannya” (HR. Bukhari no.2045)

Namun kebolehan i’tikaf bagi wanita selama dipenuhi syarat:

1. Aman dari fitnah. Sebagaimana syarat ini berlaku secara umum bagi wanita ketika keluar untuk keperluan tertentu.
2. Suci dari haid dan nifas
3. Mendapat izin dari suami, atau dari majikan bagi budak wanita

Berapa lama minimal ber-i’tikaf?

Ada empat pendapat diantara ulama mengenai hal ini:

a. Satu hari atau satu malam. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, sebagian Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah
b. Sehari semalam. Ini merupakan pendapat Malikiyyah.
c. Sepuluh hari. Ini merupakan pendapat Imam Malik.
d. Beberapa saat (sebentar). Ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Yang benar adalah pendapat pertama, batas minimal i’tikaf adalah sehari atau semalam. Berdasarkan hadits:

أن عمر قال : يا رسول الله ، إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام ، قال : ( أوف بنذرك )

“Umar berkata: ‘Wahai Rasulullah, di masa Jahiliyyah aku pernah bernadzar untuk beri’tikaf satu malam di masjidil haram’. Rasulullah bersabda: ‘Penuhi nadzarmu’” (HR. Bukhari, no. 6697)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan Umar untuk beri’tikaf hanya semalam saja, dan itu sudah cukup untuk memenuhi nadzarnya. Ini adalah batas minimal i’tikaf syar’an, baik i’tikaf sunnah maupun i’tikaf wajib karena tidak ada dalil yang membedakan keduanya dalam masalah batas minimal.

Selain itu, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi atau para sahabat pernah beri’tikaf atau menganggap diterimanya i’tikaf sebentar saja.

Bagaimana masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf?

Ada empat pendapat diantara ulama mengenai hal ini:

a. Harus di masjid jama’ah. Ini merupakan pendapat jumhur tabi’in, Hanabilah dan Hanafiyyah.
b. Boleh di setiap masjid, walau tidak pernah dipakai shalat berjama’ah. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah.
c. Harus di masjid jami’, yang diselenggarakan shalat Jum’at di dalamnya. Ini merupakan pendapat Hammad, Ash Shan’ani, Abu Ja’far, Al Hakim. Juga merupakan pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah, jika masa i’tikaf bertemu dengan shalat Jum’at.
d. Harus di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Ini merupakan pendapat Sa’id bin Musayyab dan Atha’.

Yang tepat adalah pendapat pertama. I’tikaf sah disetiap masjid yang diadakan shalat wajib berjama’ah di dalamnya. Dalilnya adalah beberapa fatwa para sahabat, diantaranya

Ali Radhiallahu’anhu berkata:

من اعتكف فلا يرفث في الحديث ولا يساب و يشهد الجمعة و الجنازة وليوصل اهله اذا كانت له حاجة و هو قائم لايجلس عندهم

“Orang yang beri’tikaf tidak boleh berkata kotor, tidak boleh mencela, harus mendatangi shalat Jum’at dan shalat jenazah, keluarganya boleh mengunjunginya jika memang ada kebutuhan, dan ia dalam keadaan berdiri bukan duduk” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 4/356; Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 2/334. Sanadnya shahih).

Perkataan Ali يشهد الجمعة (mendatangi shalat jum’at) menunjukkan yang beliau maksud adalah orang yang i’tikaf tidak di masjid Jami’. Dikuatkan dengan riwayat dari beliau yang lain, dari Ali Radhiallahu’anhu ia berkata:

لا اعتكاف الا في مسجد جماعة

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid jama’ah” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 4/346. Sanadnya terdapat kelemahan)

Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata:

لا اعتكاف الا في مسجد تجمع فيه الصلوات

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid tempat manusia berkumpul melaksanakan shalat” (Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Al Masa’il, 2/673. Sanadnya shahih)

Post a Comment for "PENGERTIAN IKTIKAF DI MASJID"